"Alhamdulillah tadi kami sudah melaporkan aspirasi masyarakat terkait bukti-bukti dugaan korupsi yang dilakukan oleh Bupati Solok Epyardi Asda terkait 4 kasus yang berbeda, salah satunya mengenai pelanggaran Reklamasi Danau Singkarak," Ungkap Dodi di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (9/6/2022).
Dodi menjelaskan, dari 4 kasus tersebut total kerugian negara ditaksir mencapai Rp18,1 miliar. Ia merinci, yang pertama terkait Reklamasi Danau Singkarak yang merugikan negara sebesar Rp3,3 miliar.
"Yang kedua itu terkait hibah jalan eksisting ke Kawasan Wisata Chinangkiek yang merupakan daerah wisata milik pribadi Bupati Solok Epyardi Asda yang diduga kerugian negara mencapai Rp13,1 miliar," sebut Dodi Hendra.
Sedangkan yang ketiga, lanjutnya, diduga Bupati Solok Epyardi Asda kerap memerintahkan SKPD Pemda Kabupaten Solok, untuk melakukan rapat dan pertemuan di daerah wisata Chinangkiek milik pribadinya, dengan menghabiskan total dana APBD Kabupaten Solok sebesar Rp1,2 miliar. Ditambah, kawasan tersebut juga diduga belum memiliki izin dan Amdal wisata.
"Dan yang keempat, terkait pengangkatan pensiunan PNS jadi Plh Sekda Solok, yang diduga kerugian negara kurang lebih mencapai Rp500 juta untuk biaya gaji dan tunjangan jabatan," jelasnya.
Dari keempat kasus dugaan korupsi tersebut, pihaknya sangat menyoroti masalah reklamasi Danau Singkarak. Sebab, perusahaan swasta yang menggarap proyek reklamasi Danau Singkarak itu adalah perusahaan milik keluarga Bupati Solok Epyardi Asda. Yaitu PT. Kaluku Indah Permai dan CV. Anam Daro.
"Dimana penanggung jawab dari PT. Kaluku Indah Permai dan CV Anam Daro ini adalah sanak keluarga dari Bupati Solok Epyardi Asda," Ungkapnya.
Dodi Hendra menjelaskan, saat ini kedua perusahaan tersebut telah mendapatkan sanksi administratif terkait pelanggaran pemanfaatan ruang di Danau Singkarak. Kedua perusahaan tersebut diminta untuk melakukan pemulihan lahan seperti semula paling lambat 4 bulan terhitung sejak ditandatanganinya surat keputusan pengenaan sanksi administratif.
"Namun setelah komitmen tersebut berjalan selama 4 bulan, tepatnya di tanggal 28 Mei 2022 lalu, kondisi saat ini di kawasan reklamasi tersebut masih belum tuntas," ucapnya.
Bahkan, Walhi juga melihat pembangunan di lokasi sekarang melanggar sejumlah aturan. Pertama pembangunan dilakukan di lokasi bekas reklamasi yang dulunya telah dinyatakan ilegal. Kedua, tidak ada dokumen terkait lingkungan baik di provinsi maupun pihak Pemkab Solok.
"Pelanggaran selanjutnya terjadi pada Perda Tata Ruang. Pelanggaran mengacu pada Perda Nomor 1 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Kabupaten Solok, bahwa yang direklamasi itu adalah kawasan lindung. Bukan peruntukan untuk pembangunan objek wisata," ungkapnya.
Berdasarkan data dari Walhi, Dodi Hendra menjelaskan potensi kerugian negara sektor lingkungan akibat reklamasi yang diduga tanpa izin itu mencapai Rp3,3 miliar. Rinciannya, biaya kerugian ekologis Rp1,2 miliar, biaya ekonomi Rp952 juta, dan biaya lingkungan Rp1,2 miliar.
Potensi kerugian tersebut dianalisis berdasarkan Permen Nomor 7 Tahun 2014 tentang Ganti Rugi Akibat Pencemaran dan atau Kerusakan Lingkungan Hidup, UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Keuangan Negara, dan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
"Jadi, Kami sebagai Ketua DPRD Kabupaten Solok, mewakili masyarakat Kabupaten Solok, memohon perkara dugaan penyalahgunaan wewenang dan indikasi korupsi tersebut di proses sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku," tutupnya. (Syafri)